PEMERINTAH LAKUKAN MORATORIUM UJIAN SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN

loading...
Liputan guru - Berikut ini adalah informasi terkait pemerinta diminta untuk melakukan moratorium ujian sertifikasi guru dan dosen, simak liputan selengkapnya !

Pemerintah diminta untuk melakukan moratorium dan meninjau ulang pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen. Langkah tersebut perlu dilakukan karena masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan sebelum pelaksanaan sertifikasi ini dilakukan. Penyempurnaan ini patut dilakukan agar sertifikasi guru dan dosen dapat memberikan penilaian yang adil bagi para para pendidik di Indonesia dengan latar belakang yang beragam.


Hal ini disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, RES Fobia kepada Beritasatu.com di Jakarta, Jumat (19/8).

RES Fobia menyebutkan, setidaknya ada dua hal utama yang perlu disempurnakan. Pertama, menyangkut para guru dan dosen yang memiliki keterbatasan khusus. Kedua, penentuan secara pasti institusi yang berhak melakukan sertifikasi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Baca juga : GURU WAJIB BACA : KHUSUS BUAT GURU, KEMENDIKBUD REKRUT GURU UNTUK DIANGKAT JADI PNS, INI SYARATNYA !

Terkait para guru dan dosen yang memiliki keterbatasan khusus, alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta ini menegaskan, pelaksanaan sertifikasi yang bersifat menyamaratakan semua guru dan dosen tanpa memperhatikan atau menjadikan pertimbangan bagi mereka yang memiliki kendala khusus, seperti gangguan kesehatan, kecacatan fisik, atau berkebutuhan khusus (special circumtances), sejatinya merupakan pelanggaran negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, "Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."

Dalam konteks ini, RES Fobia berpendapat, jika sistem ujian sertifikasi guru dan dosen ini diterapkan sama terhadap mereka yang memiliki kecacatan fisik atau gangguan kesehatan, maka sesungguhnya negara telah bertindak diskriminatif. Sebab, negara telah memaksa mereka yang memang sejatinya memiliki keterbatasan fisik untuk bersaing dengan mereka yang tidak memiliki gangguan fisik sama sekali.

Apalagi, Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa, "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja." Sedangkan, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa, "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."

"Oleh karena itu, jika ujian sertifikasi ini diterapkan secara sama rata tanpa peduli terhadap kondisi para peserta utamanya mereka yang memiliki keterbatasan atau kecacatan, maka itu artinya negara telah mengaibakan hak warga negaranya yang mengalami kecacatan atau gangguan kesehatan untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan yang bersifat diskriminatif. Padahal, sesuai amanat UUD 1945, negara seharusnya memberi perlindungan dan mencegah terjadinya tindakan diskriminatif terhadap warga negaranya. Lalu di manakah peran negara untuk mencegah tindakan diskriminatif ini?" papar alumnus S-2 dari School of Policy Studies - Kwansei Gakuin University, Jepang tersebut.

Ia mencontohkan, jika seseorang yang karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan dirinya untuk berada lebih dari dua jam di depan komputer, dipaksa untuk mengikuti ujian sertifikasi yang mengharuskan peserta ujian berada di depan komputer selama lima jam terus menerus, jelas akan merugikan peserta yang mengalami kecacatan tersebut.

Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi perhatian Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Sebab, tak bisa dipungkiri banyak guru dan dosen yang sudah mengabdi puluhan tahun dan telah menghasilkan ratusan alumni, namun mereka adalah guru dan dosen yang memiliki keterbatasan secara fisik.

"Pertanyaannya, apakah saat mendesain ujian sertifikasi ini, mereka sudah memperhatikan hal ini atau tidak? Bagaimana mungkin ujian ini disamaratakan terhadap semua guru dan dosen tanpa memedulikan kondisi kesehatan dan kecacatan dari tiap peserta? Lalu di manakah rasa keadilan itu?" tandas Mitra Kerja Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tersebut.

Sementara itu, menyangkut institusi yang berhak melakukan sertifikasi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, RES Fobia melihat bahwa proses sertifikasi guru dan dosen yang dilakukan saat ini  tidak jelas.

Dikatakan, Pasal 47 ayat (1) c UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Pasal 3c PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen, mengatur dengan tegas bahwa, "Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut: ... c. Lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah."

Persoalannya, ujar dia, para dosen yang mengikuti ujian sertifikasi ini mendapatkan nomor ID dan password dari kampus tempat mereka mengajar untuk selanjutnya mengakses materi ujian dari webside Kemristekdikti. Demikian pula saat pengumuman ujian disampaikan lewat webside pun, disebutkan pula nama kampus dan juga Kemristekdikti tanpa menyebutkan siapa sesungguhnya pejabat yang membuat keputusan atau yang menilai.

"Jadi, siapa yang berwenang secara hukum untuk melakukan sertifikasi dan menyatakan lulus atau tidal lulusnya seseorang?
Dalam kenyataannya banyak peserta ujian sertifikasi yang tidak lulus, tidak mengetahui secara pasti identitas yuridis tentang siapa yang memutuskan ketidaklulusan dan bertanggung jawab menjelaskan," ungkapnya.

"Hal ini membuat para peserta bertanya-tanya apakah yang menilai itu pihak kampus ataukah pihak Kemristekdikti. Dan seandainya mereka mau melakukan banding, ke pihak manakah mereka harus banding? Apakah ke pihak kampus ataukah ke Kemristekdi? Sementara, di pengumuman yang disampaikan itu tidak dengan jelas menyebutkan pihak mana atau pejabat mana yang membuat keputusan. Ini merupakan sesuatu yang sangat merisaukan para peserta dan seolah-olah tidak ada yang mau bertanggung jawab. Lalu ke mana para peserta yang tak lulus ini harus melakukan banding jika mereka tidak bisa menerima hasil ujian dimaksud?" tuturnya.


Sebagai perbandingan, kata RES Fobia, pada tataran peradilan umum saja, ketika seseorang dijatuhi vonis dan ia merasa tidak mendapatkan keadilan maka orang yang bersangkutan bisa melakukan banding ke peradilan yang lebih tinggi. "Nah, dalam konteks ini, ke mana para peserta ujian sertifikasi ini bisa melakukan banding jika mereka tidak puas atau merasa tidak adil terhadap keputusan yang dibuat?" paparnya.

Oleh karena itu, ia mendesak Pemerintah khusunya Kemristekdikti untuk melakukan moratorium dan menyempurnakan sistem ujian sertifikasi ini terlebih dulu sebelum dilanjutkan. Penyempurnaan ini bisa dilakukan dengan meminta masukan dari para guru dan dosen yang sudah mengikuti ujian ini. Agar ke depan, hal-hal yang terjadi selama ini tidak terulang dan dapat memberikan rasa keadilan yang sama bagi para guru dan dosen yang sempurna secara fisik dan yang memiliki keterbatasan fisik atau berkebutuhan khusus.

(Sumber : www.beritasatu.com)

Itulah liputan terbaru hari ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih buat Anda yang telah berkunjung.
loading...
LIKE & SHARE

0 Response to "PEMERINTAH LAKUKAN MORATORIUM UJIAN SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN"

Posting Komentar