loading...
Liputan guru - Guru bakal dipecat apabila masih menjual LKS di sekolah.
Larangan menjual buku LKS (lembar kerja siswa) sudah didengungkan Kemendikbud sejak 2006. Tapi fakta di lapangan, aturan itu mandul. Makin banyak sekolah dan guru yang tetap gunakan LKS untuk para siswanya. Karenanya, Mendikbud Muhadjir Effendy kembali mengingatkan larangan itu.
Bahkan, kali ini ditambah dengan larangan buka jasa les. Menurutnya pembelajaran harus benar-benar tuntas di kelas atau sekolah. Beberapa siswa SMA mengakui sekolah mereka pakai LKS. Hanya saja tak seluruh mata pelajaran dan guru yang gunakan.
“Cuma PKN saja yang menggunakan LKS, Kak,” ucap Anita, siswi kelas 3 SMA di Palembang. Dia mengakui LKS itu kurang begitu bagus karena pelajarannya kurang lengkap. Untuk les sendiri, saat ini belum ada di sekolahnya. “Biasanya baru ada saat dekati ujian,” tuturnya.
Sementara, bagi wali siswa seperti Msy Lela, warga Jl KH Azhari, RT 21, Kelurahan 5 Ulu, LKS tak masalah karena harganya terjangkau kisaran Rp15 ribu. “Memang sekali ngambil dua anak saya sampai 7 LKS per satu semester. Tapi saya tidak merasa berat mengeluarkan uang itu. Karena pihak sekolah menerima cicilan para siswa enam bulan,” jelasnya.
Jika pun guru meminta beli buku, modul, atau lainnya, secara pribadi dia mengaku tak mempermasalahkan itu asal pembayarannya fleksibel. “Karena tidak seluruh orang tua siswa kan mampu,” cetusnya. Soal les tambahan di sekolah, sejauh ini tidak pernah diminta. Jika pun ada dan biayanya tidak terlalu berat, dia memastikan tetap akan diusahakan anaknya ikut les.
Di Palembang, Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) SMA Palembang sekaligus Kepala SMAN 1 Palembang, Nasrul Bani SPd MM, mengatakan, LKS memang seharusnya dibuat guru, kemudian diperbanyak sekolah. Kalau beli, belum tentu cocok dengan peserta didik. “Di SMAN 1 Palembang tidak ada guru yang jual LKS,” tegasnya. Tapi soal les di luar tidak dilarang, selagi guru objektif.
Kepala SMAN Plus 17 Palembang Parmin SPd MM, menegaskan, sekolahnya tidak jual buku ataupun LKS. Semua pelajaran telah disiapkan oleh seluruh guru bidang studi. Kepala Disdikpora Kota Palembang, Ahmad Zulinto SPd MM, sendiri menegaskan siap menerima laporan orang tua dan siswa apabila ada sekolah menjual LKS. “Sudah ditegaskan sekolah tidak boleh jual buku atau LKS. Jika ada pelanggaran ada sanksinya,” tegasnya.
Baca juga : GURU JANGAN BANYAK NGELUH, GAJI SUDAH TINGGI SEHARUSNYA BANYAK INOVASI
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Palembang, Ahmad Zulinto SPd MM, mengatakan, terkait penjualan LKS, pihaknya siap menerima laporan dari orang tua dan siswa apabila ada sekolah yang menjual LKS. “Sudah ditegaskan bahwa sekolah tidak boleh menjual buku atau LKS. Jika ada sudah melanggar aturan dan ini tentu ada sanksinya,” tegas dia.
Di Ogan Ilir, guru SMA Negeri 1 Inderalaya, Waryanti menilai LKS itu penunjang mata pelajaran di sekolah. “Buku dari pemerintah sangat terbatas. Begitu juga perpustakaan sangat minim. Kalau buku di luar harganya cukup mahal. LKS sedikit banyak membantu siswa,” tambahnya.
Namun, katanya, les tambahan kurang efektif. “Siswa sudah belajar dari pukul 07.00 -14.30 WIB. Kondisi inibuat siswa cukup lelah, apalagi ditambah les. Kecuali bagi siswa kelas XII yang akan ikuti ujian nasional (UN) memang dibutuhkan,” tukasnya.
Komariah, waka SMAN 2 Plus Banyuasin III menjelaskan sekolahnya sama sekali tidak gunakan LKS. “Bahkan les juga demikian. Yang ada jam tambahan sesuai aturan. Tetapi untuk PR masih tetap diberikan kepada siswa, meski tak begitu banyak,” cetusnya.
Sekretaris Disdik Banyuasin, Nopran menjelaskan sebenarnya pihaknya sudah lama melarang sekolah gunakan LKS. “Tapi, kami akui acapkali ada saja oknum guru melanggar dan menggunaknnya,” tuturnya. Namun, untuk les atau pemerintah PR, pihaknya belum melarang hal itu. “Kalau ada larangan akan kita terapkan. Kita tunggu regulasinya,” tuturnya.
Kepala Dinas Pendidikan Ogan Komering Ilir (OKI), H Zulkarnaen, mengakui saat ini ada beberapa guru dan sekolah memberi les tambahan bagi siswa. “Kami belum paham mengapa hal itu (les, red) harus dilarang di sekolah. Tapi mungkin yang dilarang ini bila guru memungut bayaran dan menggangu proses belajar,” ucapnya, kemarin (14/10).
Meski begitu, jika nanti ada instruksi Kemendikbud langsung pihaknya pun bakal menjalankan itu. “Sejauh ini belum ada edaran resmi pelarangan les dan LKS,” terangnya. Diakuinya, larangan menggunakan LKS dalam pembelajaran sendiri memang bermaksud baik. “Jadi guru dituntut inovasi mengajar dan tak harus gunakan LKS. Apalagi guru juga dilengkapi buku paket dan panduan lain,” bebernya.
Kepala Disdik Lubuklinggau, Erwin menjelaskan memang masih ada guru yang pakai LKS. Tapi sekali lagi, LKS hanya suplemen (tambahan) bukan buku wajib. “Untuk les di sekolah, saya rasa tidak apa-apa. Yang kami khawatir itu les personal di rumah oleh guru. Karena bisa saja nanti tidak fair dalam memberikan nilai,” imbuhnya.
Baca juga : ALHAMDULILLAH, TUNJANGAN INPASSING GURU NON-PNS KEMENAG SEGERA CAIR
Kepala Disdik Prabumulih, HM Rasyid SAg pun akui pihaknya sudah lama melarang guru jual LKS ke siswa. “Apalagi jika disertai paksaan atau ancaman nilai siswa dikurangi kalau tidak membeli,” katanya, kemarin. Namun ada pengecualian, lanjut Rasyid, bila materi buku pelajaran masih kurang cukup, guru boleh gunakan LKS untuk membimbing dengan syarat tidak menjualnya. “Siswa silakan cari sendiri, bukan membeli kepada guru,” katanya.
Untuk les, Rasyid menilai sah-sah saja asal tidak mengganggu proses belajar mengajar dan orang tua siswa tidak terbenani atau tak berbayar. “Tapi kalau sebaliknya apalagi siswa dipaksa lewat nilai maka itu kami larang,” bebernya. Diakuinya, ada sekolah di Prabumulih yang sudah terapkan full day school sampai pukul 16.00 WIB, ini diyakini lebih efektif kurangi praktik kursus privat oleh oknum guru.
Agusni Effendi, Kepala Disdik Empat Lawang, mengatakan, pihaknya juga sudah lama melarang LKS begitupula les. “Apalagi jika siswa dipungut biaya les. Kalau ada itu kami tindak tegas,” tuturnya.
Disdik Muratara menginstruksikan secara jelas pelarangan itu. “Kami nilai penggunaan LKS tidak sesuai kurikulum belajar dan beratkan siswa,” tuturnya.
Jadi dia pun memastikan di Muratara tidak ada lagi sekolah pakai LKS. “Kalau ada guru wajibkan LKS, pecat saja karena melanggar etika,” cetus Sekretaris Disdik Muratara, Ad Oktarianda, kemarin.
Katanya, siswa ke sekolah ikuti mata pelajaran, bukan jadi konsumen beli buku. Tidak seharusnya ada jual beli di sekolah. “Kalau mau jualan silakan di pasar. Saya tegaskan guru itu fungsinya mengajar bukan jualan,” tegasnya. Pembelajaran harus mengacu buku yang dikeluarkan Kemendikbud dan pelajar tidak dituntut membelinya. “Pelajar silakan belajar saja. Urusan buku sudah dianggarkan,” pungkasnya.
Disdik OKU sendiri sudah sosialisasi dan beri imbauan ke sekolah-sekolah. “Yang kami harap guru justru buat LKS sendiri. Selesai pokok bahasan diminta buat lembar siswa,” kata Kabid Dikjar Dinas Pendidikan OKU, Hj Erwani Santi SPd MM. Instruksi itu mengingat LKS tidak sesuai dengan pembelajaran yang ada. Pihaknya juga melarang les berbayar oleh sekolah. “Kecuali jika orang tua meminta kepada guru beri pelajaran tambahan, kami tidak bisa melarang,” katanya.
Kepala SMAN 2 Muara Enim, Rita Riana mengakui intinya sekolah menurut saja perintah Mendikbud. “Ya menteri baru, kebijakan baru. Tapi kami siap melaksanakannya,” ujarnya. Namun secara pribadi, Rita kurang sependapat pelarangan LKS dan les. “Malah guru dilarang menyuruh siswa buat PR. Sekarang kita lihat, kalau siswa tidak dikasih PR, mereka tentu tidak buka buku,” jelasnya.
Sekretaris Disdikbud Muara Enim, Zainal Abidin menjelaskan pihaknya dukung kebijakan Mendikbud. “Karena LKS dan les itu beratkan beban siswa. Para siswa seharusnya fokus belajar saja. Peraturan ini silakan dilaksanakan di sekolah,” ujarnya. Tapi saat ini pihaknya belum terima Permendikbud tersebut.
Kadisdik Lahat Sutoko, mengatakan, prinsipnya daerah ikuti aturan pusat. “Kalau memang dilarang ya kita ikuti,” ujarnya, kemarin. Sistem pembelajaran sistematis sesuai arahan pemerintah. Karenanya, apapun pola yang diterapkan, daerah akan mengikuti.
Di Musi Banyuasin, Guru SMAN 1 Sekayu, Zulmahdi, mengaku guru-gurunya tak lagi pakai LKS sejak empat tahun terakhir. “Kita tengah terapkan sistem belajar Edmodo,” tegasnya. Yakni mengabungkan sistem ilmu pembelajar dan media sosial (medsos). “Pelajar cukup bawa laptop atau smartphone Android,” jelasnya.
Roslawati SPd MM, Kepala SMPN 1 Belitang mengatakan sejak jadi kepala sekolah, LKS dan les siswa di sana tidak pernah diberikan. “Untuk PR saya rasa masih perlu, supaya siswa ingat pelajaran yang sudah diberikan sekaligus PR juga jadi evaluasi,” tandasnya.
Kabid Diklan Disdik OKUT, Sudarman SAg, mengungkapkan, aturan itu sudah lama. Kata Darman, jika buku itu dibeli dari penerbit memang tidak boleh. Tapi jika guru buat LKS dan berikan ke siswa, itu dianjurkan. “Kalau beli khawatir materinya tidak relevan dengan saat ini,” terangnya.
Kepala Disdikbud PALI, Drs Abu Hanifa, mengatakan, pihaknya telah menyosialisasikan larangan itu ke sekolah. “Kami harap semua sekolah bisa patuh supaya mutu pendidikan meningkat dan tidak bebani pelajar menimba ilmu,” tegasnya. Kalau ada yang membandel, pihaknya siap memanggil kepala sekolah bersangkutan.
Kepala Dinas Pendidikan OKU Selatan, Zulfakar Dhani belum menerima petunjuk resmi. “Kami masih menunggu edaran tertulis. Sejauh ini kita belum melarang. Setelah ada edaran, kami secepatnya melakukan pelarangan,” ucap Zulfakar.
Kepala Disdik Sumsel, Drs Widodo MPd, mengatakan guru harus menjalankan proses belajar mengajar sesuai yang diperlukan. Termasuk larangan jual LKS. “Itu dari sejak dulu (2006, red) tidak dibenarkan dan dilarang Kemendikbud. Karena itu kami minta pihak sekolah dan kabupaten/kota lakukan pengawasan lebih,” ucapnya.
Apalagi, tiap sekolah sudah mendapat bantuan dari pemerintah yang didistribusikan kepada setiap siswa. “Namun ada saja oknum guru mencari keuntungan dengan menjual LKS. Kalau ada guru menjual, siswa boleh menolak dan segera lapor saja ke disdik kabupaten/kota agar ditindaklanjuti,” ucapnya.
Baca juga : ABSENSI TIDAK PENUH, TUNJANGAN GURU BATAL CAIR
Kata Widodo, awalnya LKS untuk membantu siswa belajar dan mengulang pelajaran di sekolah dengan latihan soal-soal yang disiapkan guru. Seiring perjalanan waktu, guru justru menjual LKS dan menjalin kerja sama dengan pihak luar. “Sekarang guru harus kreatif bisa buat materi pembelajaran termasuk LKS yang diberikan gratis kepada peserta didiknya,” ucapnya.
(Sumber ; http://www.sumeks.co.id)
Demikian liputan terkini. Semoga bermanfaat. Terima kasih buat Anda yang telah berkunjung.
loading...
LIKE & SHARE
0 Response to "GURU JUAL LKS DAN BUKA JASA LES BAKAL MENDAPAT SANKSI TEGAS BERUPA PEMECATAN"
Posting Komentar